Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lain dulu lain sekarang, sekelompok anak SD, berbicara pelangi tak lagi sama. Dulu dalam bentuk nyanyian dengan menanyakan siapa gerangan Penciptamu, namun kini, keindahan pelangi identik dengan sekelompok orang yang merasa “terpasung” dalam raga yang salah. Sehingga memilih menyukai sesama jenis.
Kasus temuan grup whatsApp LGBT yang ada pada ponsel anak sekolah dasar (SD) di Pekanbaru, Riau, menjadi viral di media sosial. Dunia pelangi melingkupi anak-anak yang dalam bayangan kita tak mungkin memiliki pemikiran ke arah sana. Menurut psikolog pendidikan anak dan remaja, Alfa Restu Mardhika, hal tersebut bisa saja karena anak ikut-ikutan tren. “Kan sebenarnya fase sampai remaja itu bukan dibilang sesuatu yang harga mati, masih pencarian identitas diri, rentan banget sebenarnya,” kata Alfa (REPUBLIKA.CO.ID, 18/6/2023).
Di luar negeri, seperti Amerika, jumlah anak muda yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT pun ditemukan meningkat. Mengutip survei Gallup, Joe Carter selaku penulis buku The Life and Faith Field Guide for Parents mengungkapkan jumlah orang Amerika yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT telah meningkat menjadi 5,6 persen, naik dari 4,5 persen dari data 2017. Satu dari enam orang dewasa berusia antara 18 hingga 23 tahun mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ.
Sementara itu, sebagian besar orang dewasa Gen Z yang mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ (72 persen) mengatakan bahwa mereka adalah biseksual. Lalu, sekitar setengah dari generasi Milenial yang mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ mengatakan bahwa mereka adalah biseksual. Menurut Joe Carter, penyebab peningkatan tersebut diyakini akibat dari terjadinya penularan sosial dan normalisasi homoseksualitas. Hal itu membuat generasi yang lebih muda sangat rentan dan percaya bahwa mereka harus mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ.
“Paparan sederhana saja tampaknya sudah menjadi kondisi yang cukup untuk terjadinya transmisi sosial,” kata peneliti psikolog Paul Marsden. Menggunakan tesis penularan sosial, Marsden menyebut fenomena sosiokultural dapat menyebar dan melompat masuk ke populasi. Polanya lebih mirip wabah campak atau cacar air daripada melalui proses pilihan rasional. (Republika.co.id, 16/6/2023).
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan pun menanggapi penemuan memprihatinkan di Pekan baru, Riau tersebut dengan mengingatkan pentingnya pengawasan anak terhadap maraknya kampanye lesbian, gay, biseksual, atau transgender (LGBT). Kawiyan menegaskan, LGBT adalah perilaku seks menyimpang yang bertentangan dengan ajaran agama-agama di Indonesia. Selain itu, praktik seks menyimpang juga bertentangan dengan nilai moral dan etika bangsa Indonesia. Anak-anak harus dijauhkan dari praktik LGBT agar tidak menjadi korban praktik menyimpang tersebut (Republika.co.id, Ahad, 18/6/2023).
Kawiyan menyebut, KPAI sebagai lembaga negara yang diberi wewenang melakukan pengawasan atas pemenuhan hak dan perlindungan anak, menolak kampanye LGBT. Karena itu, munculnya fenomena LGBT pada anak di Indonesia itu harus diwaspadai.
Sikap Dunia Terhadap LGBT
Amerika Serikat (AS) sebagai negara liberal terbesar saat ini, “menghukum” Uganda dengan memberlakukan pembatasan visa pada pejabat negara tersebut. Itu sebagai respons setelah negara Afrika itu mengesahkan undang-undang (UU) anti-lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) yang mencakup hukuman mati (SINDOnews.com, 17/6/2023).
Departemen Luar Negeri AS mengumumkan “hukuman” untuk Uganda pada Jumat waktu Washington, yang dilansir Reuters, Sabtu (17/6/2023). Amerika termasuk dari beberapa negara yang mengecam UU anti-LGBTQ Uganda. PBB juga turut mengecam. UU tersebut, yang dianggap sebagai salah satu yang paling keras di dunia, diberlakukan pada bulan Mei dan membawa hukuman mati bagi “homoseksualitas yang diperparah”, sebuah pelanggaran yang mencakup penularan HIV melalui seks sesama jenis.
Uganda pun menghadapi keadaan membahayakan tersebab regulasinya menyinggung negara besar pengusung gaya hidup menyimpang tersebut, dengan adanya sebagian ancaman dihentikannya dari miliaran dolar bantuan luar negeri yang diterima negara itu setiap tahun. Presiden AS Joe Biden telah mengancam pemotongan bantuan dan sanksi lainnya, sementara Menteri Luar Negeri, Antony Blinken mengatakan bulan lalu pemerintah akan mempertimbangkan pembatasan visa terhadap pejabat Uganda.
Dan memang, dunia terbelah, ada yang pro LGBT seperti Amerika sendiri dan ada yang kontra seperti Nigeria, Arab Saudi Arabia, Pakistan, Yaman dan lain-lainnya, termasuk uganda. Presiden Uganda, Yoweri Museveni telah menandatangani undang-undang (UU) yang mengamanatkan hukuman mati bagi tindakan seks kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Langkah itu dikecam keras Kantor Hak Asasi Manusia PBB, menyebutnya sebagai aturan kejam. (SINDOnews.com, 30/5/ 2023).
Rancangan Undang-Undang RUU Anti-Homoseksualitas 2023, yang sekarang resmi menjadi UU, telah disetujui Parlemen pada bulan Maret. Aturan awalnya mengusulkan hukuman 20 tahun penjara bagi yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT, tetapi presiden mengembalikannya ke draft aturan itu ke Parlemen pada akhir April untuk direvisi guna memastikan RUU tersebut tidak menakut-nakuti mereka yang membutuhkan rehabilitasi.
Semua platform dan situs media sosial, begitu tunduk dengan peraturan batil ini, sehingga ketika ada kata-kata yang “melanggar privasi komunitas” akan tersangkut mesin pencari dan alhasil, akun akan diblok, konten dihapus bahkan dipeti eskan. Sungguh luar biasa! Begitu cepat bergerak melindungi sesuatu yang merusak peradaban.
Tak ada negara di dunia ini yang benar-benar menolak LGBT, meskipun sudah tampak mata dampak buruknya terhadap generasi dan tatanan sosial. Penyakit aneh dan akut bermunculan sebagai akibat terus didiamkannya perilaku menyimpang ini mengambil panggung dunia. Hanya ketika PBB, “lembaga penegak perdamaian dunia” dan Amerika mengatakan LGBT berhak hidup dan berkembangbiak di bumi yang sama maka semua sepakat tanpa tapi. Pun negeri-negeri kaum Muslim. Mereka hanya berani mengecam, mengutuk padahal mereka meyakini keharaman perilaku kaum Nabi Luth. Iman terbuang begitu saja, dan lebih rendah dari undang-undang hak asasi manusia.
Liberalisme Akar Persoalan LGBT Kian Eksis
Beredar sebuah video yang menayangkan gambar beberapa orangtua di sebuah sekolah di California, salah satu wilayah Amerika terliberal yang menolak tambahan pelajaran LGBT bagi anak-anak mereka. Mereka tak ingin ada edukasi tentang sebuah keluarga baru dua ayah atau dua ibu, meskipun itu ada faktanya di sekitar mereka. Bagi mereka, anak-anak tetap harus mengenal ayah dan ibu itu adalah baku.
Bukti bahwa secara fitrah manusia tak menginginkan ada perubahan terhadap fungsi ayah dan ibu yang sudah ada sejak diciptakannya pria dan wanita. Mereka juga paham adanya hukum alam ketika ada pelanggaran. Sama seperti bencana alam yang datang bertubi-tubi setelah alam dieksploitasi tanpa ampun, tak menyisakan jeda bahkan urusan limbah tak masuk hitungan.
Kebebasan inilah yang sangat dipuja pengusung sekulerisme, mereka beranggapan agama samasekali tak mendatangkan manfaat, justru di beberapa aspek menjadi penghalang kemajuan seseorang. Kebebasan tanpa batas ini sekaligus menjadi watak kapitalisme, yang memandang kebahagiaan hanya semata-mata memperoleh pemuas kebutuhan jasadiah sebanyak-banyaknya. Kapitalisme menambah parah keadaan, sebab kehadiran LGBT yang semakin “diterima” bahkan hingga disahkan UU yang melegalkan pernikahan sesama jenis itu adalah bagian dari komoditas para pemodal besar untuk menguasai perekonomian dari hulu ke hilir, sebut saja industri pakaian, atribut pelangi hingga wisata yang ramah LGBT.
Tak heran perilaku menghalalkan segala cara menjadi biasa dan bahkan kiblat generasi hari ini yang sangat lemah. Maka, sepanjang kebebasan manusia terus dijaga atas nama hak asasi manusia maka selama itu pula kerusakan bak efek domino akan berlanjut. Astaghfirullah.
Islam : Paradigma Baru Menghapus Perilaku Menyimpang.
Keharaman perilaku menyimpang Kaum Nabi Luth telah jelas diabadikan Allah dalam firmanNya sebagai berikut, ”Tatkala datang azab Kami, Kami menjadikan negeri kaum Luth itu (terbalik) bagian atasnya berubah menjadi di bagian bawah, dan Kami menghujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (TQS Hud [11]: 82).
Penciptaan pria dan wanita bukan sekadar untuk memenuhi dorongan seksual, tetapi untuk tujuan mulia, yakni supaya umat manusia terus berketurunan. Firman Allah SWT: “Allah telah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan telah menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian itu anak-anak dan cucu-cucu.” (TQS an-Nahl [16]: 72).
Jika gay atau lesbian menjadi gaya hidup bagaimana mungkin manusia bisa beregenerasi? Untuk punya anak, kaum gay biasanya membayar wanita untuk menyewa rahimnya (surrogate mother), untuk mengandung anak mereka. Entah dengan sperma dari pasangan gay itu atau dari lelaki lain. Makin kacaulah dunia, sebab rusaknya nasab. Karena itulah Islam mensyariatkan pernikahan yang di dalamnya terpenuhi pemenuhan kebutuhan biologis sekaligus mendapatkan keturunan yang terpelihara nasabnya.
Semuanya bernilai pahala di hadapan Allah SWT. Demikian sebagaimana sabda Nabi saw.; “Persetubuhan salah seorang di antara kalian (dengan istrinya) adalah sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah saw. Menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa? Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR Muslim).
Maka, selain mensyaratkan pernikahan, Islam, dalam hal ini negara menetapkan aturan lain, seperti kewajiban menutup aurat bagi pria dan wanita ketika beraktifitas di ranah umum. Larangan berkholwat (berdua-dua), berikhtilat (bercampur-baur), pria berdandan mirip perempuan dan sebaliknya. Negara juga menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya dalam bidang sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Negara menerapkan hukum yang tegas dan adil, bersifat menjerakan sekaligus sebagai penebus dosa. Mulai dari denda, pengasingan hingga jika terbukti melakukan hubungan LGBT wajib dibunuh. Negara juga tidak tunduk kepada organisasi asing yang notabene kafir, melainkan hanya berhukum pada syariat Allah SWT. Penjagaan negara terhadap akidah umat sangat ketat, sebab perbuatan di dunia akan diberi balasan di akhirat kelak, inilah bentuk keimananan yang harus tertanam secara kuat dalam diri setiap Muslim dan negara hadir memastikan hal sepanjang waktu. Wallahu a’lam bish showab.**