Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Tahun pemilu kian dekat, namun pergerakan menuju ke sana sudah saling berlomba. Termasuk dalam kabinet Indonesia Maju yang berisi para menteri pun bergolak, sudah ada dua menteri kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpartisipasi dalam Pilpres 2024. Keduanya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang jadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka.
Pakar Komunikasi Politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi bacapres dan bacawapres, untuk segera mundur dari jabatannya. Selain untuk hindari konflik kepentingan. Tujuan lainnya adalah mencegah berdirinya posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat mereka menjabat. Mengundurkan diri adalah cara lain selain cuti panjang yang juga sudah diambil oleh beberapa menteri calon dan tim sukses mereka dari kalangan para menteri (tribunnews.com, 25/10/2023).
Hingga hari ini, setelah pengumuman tiga pasangan bakal capres dan cawapres hanya dua nama figur yang sudah nonaktif sebagai pejabat. Yaitu Anies Rasyid Baswedan, yang merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Kemudian, Ganjar Pranowo eks Gubernur Jawa Tengah dua periode yang aktif sejak 23 Agustus 2013 – 5 September 2023. Sisanya, termasuk cawapres dari Anies dan Ganjar, merupakan figur pejabat aktif.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati, peluang penggunaan fasilitas negara dalam Pemilu 2024 akan selalu terbuka, apalagi jika kontestan merupakan seseorang yang masih menjabat. Penyalahgunaan ini berpotensi karena bisa saja peserta pemilu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan kampanye. Misalnya program-program pemerintah digunakan sebagai alat kampanye,” katanya (Tirto.id, 25/10/2023).
Dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2023 disebutkan pejabat setingkat menteri, DPR RI, dan kepala daerah tidak harus mengundurkan diri dari jabatannya dan bisa mengajukan cuti kepada presiden, dalam rangka kontestasi pilkada atau pun pilpres namun mereka tidak boleh melakukan mutasi jabatan selama 6 bulan sebelum pencalonan. Masalah muncul di pengawasan yang sulit dilakukan, sebab menurut Nisa, sudah ada sosialisasi atau kampanye padahal masa kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023.
Penyalahgunaan Kekuasaan Satu Keniscayaan Dalam Demokrasi
Dalam demokrasi hal demikian adalah keniscayaan, bahkan menjadi komoditas empuk media untuk terus menerus mengabarkannya. Apalagi jika bukan berhubungan dengan tingkat rating yang kemudian berhubungan dengan mesin algoritma yang jika lolos kriterianya, maka bisa di blow up oleh media tersebut. Seolah menjadi simbiosis mutualisme, bagaimana arah perubahan yang benar sudah tak lagi menjadi fokus.
Maka lebih tepatnya untuk menggambarkan keadaan hari ini adalah ketika kekuasaan di tangan, dua tiga pulau terlampaui. Mereka lupa bahwa kekuasaan yang ada pada mereka adalah amanah yang pasti ada konsekwensinya. Yaitu dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di Yaumil hisab kelak.
Terlebih aturan KPU memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan, bahkan juga fasilitas negara dan anggaran. Selain itu ada potensi pengabaian tanggung jawab tugas, dan abai terhadap hak rakyat. Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung regulasi yang ada. Inilah salah satu dampak dari aturan yang dibuat oleh manusiia.
Masyarakat dibuat gerah karena masing-masing timses bacalon presiden dan wakil presiden memperlihatkan manuver seolah berseteru, belum lagi dengan lisan para pejabatnya yang di awal mengharuskan netral ternyata berakhir saling dukung dan saling sindir. Hingga muncul meme mirip keluarga dalam kaleng biskuit jadul, Khong Ghuan para calon itu berada dalam satu meja, apakah presiden juga menjadi juru kampanye? Wallahualam.
Bagaimana dengan nasib rakyat? Para pemangku kebijakan itu hanya berputar-putar dalam urusan pemilihan pemimpin. Apakah memilih untuk rakyat? Jelas bukan, mereka memiliki kepentingan masing-masing di dalamnya, siapa yang bakal menang menjadi pertaruhan masa depan mereka, pundi-pundi pendapatan sekaligus kerajaan bisnis mereka. Tentu ini mengarah pada jaminan tetap berjalannya kebijakan lama siapapun pemimpinnya.
Pemilihan Pemimpin Dalam Islam
Islam mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin dan menghindarkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Ada yang disebut dengan syarat iniqad (legalitas) seseorang menjadi pemimpin yaitu pria, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan mampu mengemban amanah. Lebih jelasnya, masyarakatlah yang mengenali sosok yang disyaratkan sebab mereka tinggal bersama masyarakat. Sedangkan hari ini, tak peduli kapabilitasnya sebagai pemimpin bagaimana, terutama apakah komitmennya mau menerapkan syariat atau tidak bukan lagi jadi syarat utama.
Nama-nama yang muncul adalah hasil kesepakatan, terutama dengan konsekwensi mau melanjutkan kebijakan sebelumnya. Muncullah istilah petugas partai dan lainnya. Sebab, para calon itu diusung partai hanya berdasarkan kesepakatan atau koalisi.
Prinsip pemilihan dalam Islam juga mudah, cepat, dilakukan oleh secara profesional sebab, tugas selanjutnya yang tak boleh berlama-lama bagi pemimpin yang terpilih adalah bersegera mengurusi urusan rakyat. Pemilihan pemimpin dalam Islam juga cenderung berbiaya murah, pemilihan pemimpin bukan komoditas apalagi sarana pemulus pesanan para oligarki, ketegasan Islam ini karena keyakinan akan adanya pertanggungjawaban di akhirat. Semua dicatat dalam catatan amal, terlebih bagi seorang pemimpin.
Rasulullah saw . bersabda,” Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haq dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya”. (HR Muslim).
Keyakinan atau ketakwaan inilah yang dapat menjaga setiap orang termasuk calon pejabat untuk taat pada aturan Allah dan rasul Nya. Bukan semata menginginkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, golongan, partai atau malah oligarki. Wallahualam bissawab.**