www.jurnalkota.com
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Abdullah Azwar Anas, meresmikan 5 MPP di Kabupaten Tulungagung, Malang, Pacitan, Sampang, dan Kota Pasuruan secara serentak. Artinya, Provinsi Jawa Timur kembali menambah jumlah Mal Pelayanan Publik (MPP) di wilayahnya (Jawa Pos.cim, 18/7/2023).
Menteri Anas mengingatkan bahwa kehadiran MPP hanyalah simbolis dari adanya ruang bagi pelayanan. “Good will dari pelayanan yang baik ada di Bapak/Ibu Bupati, Wali Kota, Sekda, dan Kepala Dinas, sehingga layanan harus diperbaiki dan disatukan. Mudah-mudahan kehadiran MPP akan berdampak bagi rakyat,” ujar Menteri Azwar Anas saat Peresmian Bersama MPP di Jawa Timur yang dilangsungkan di Kab. Tulungagung, Jawa Timur.
Kehadiran MPP ini merupakan prioritas kerja Presiden, yakni penyederhanaan birokrasi. MPP menyatukan berbagai layanan yang tadinya terdapat di banyak kantor, menjadi satu pintu, satu gedung, terintegrasi. Bahkan sebagian sudah online, semua bisa diurus dari mana pun lewat handphone. MPP juga sesuai dengan arahan Presiden terkait reformasi birokrasi, dimana birokrasi kini harus fokus memberikan dampak. Mantan Kepala LKPP ini berharap kehadiran MPP di lima daerah ini memberikan dampak perbaikan kualitas pelayanan publik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Bisa jadi reformasi birokrasi ini memang menjadi lebih baik dengan hadirnya MPP, namun jika melihat berulangnya kasus kebocoran data yang terjadi di negeri ini menimbulkan pertanyaan besar, seefisien apa fungsi MPP? Jangan-jangan hanya lips servis pemerintah yang kesekian sebagai ganti kegagalan menjaga data pribadi rakyatnya. Apalagi hanya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi daerah. Sudah pasti akan ada pertimbangan untung rugi oleh beberapa pihak.
Sistem Keamanan Indonesia Lemah
Berdasarkan laporan terbaru dari National Cyber Security Index (NCSI), tingkat keamanan siber Indonesia berada di peringkat 84 dengan poin 38,96. Ada 12 indikator yang digunakan oleh NCSI dalam laporan tersebut mulai dari perkembangan kebijakan keamanan siber, perlindungan data pribadi, hingga peperangan melawan kejahatan siber. Tingkat keamanan siber di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara anggota G20, yaitu berada di posisi 3 terbawah. Indonesia hanya unggul di atas Meksiko dan Afrika Selatan yang secara poin tidak terpaut terlalu jauh dari Indonesia.
Dengan kecanggihan teknologi hari ini, digitalisasi di berbagai aspek kehidupan tak terelakkan. Dan risiko yang akan kita hadapi tak hanya sisi baiknya saja, yaitu kemudahan dalam memenuhi kebutuhan namun juga memunculkan kriminal digital, di antaranya yang viral peretasan data hingga data bisa bocor.
Maka, keamanan siber merupakan salah satu instrumen yang paling dibutuhkan, keamanan siberlah yang dapat menjamin keamanan pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas di dunia digital dari kejahatan siber. Semakin kuat keamanan siber di suatu negara, maka semakin terjamin pula keamanan para pihak yang terlibat dalam lalu lintas di dunia digital sehingga akan menciptakan iklim digital yang aman. Begitu pula sebaliknya.
Belum tuntas dengan kasus bocornya 34 juta data paspor WNI, kini telah beredar kasus baru, diungkap pertama kali oleh akun Twitter bernama pengguna @DailyDarkWeb pada Sabtu (15/7). Dalam salah satu unggahannya, akun itu menyebutkan sebanyak 337.225.465 baris data kependudukan yang dikelola Ditjen Dukcapil Kemendagri dijual di forum para peretas (hacker).
Dalam tangkapan layar laman forum peretas yang dibagikan akun Daily Dark Web, si peretas dengan nama akun RRR mengklaim mendapatkan 337 juta baris data itu dari laman web resmi dukcapil.kemendagri.go.id. Ratusan juta data itu berisikan sejumlah informasi, seperti nomor induk kependudukan (NIK), tempat tanggal lahir, agama, status kawin, akta cerai, nama ibu, pekerjaan, dan nomor paspor, (CNN Indonesia, 17/7/2023).
Kapitalisme Membatasi Peran Pemerintah
Sungguh ironi, Indonesia sudah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), kebocoran data malah terus berulang. Apakah UU ini tidak memiliki kekuatan? Presiden Jokowi menandatangani Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi pada 17 Oktober 2022. UU ini memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengawasi tata kelola data pribadi yang dilakukan penyelenggara sistem elektronik (PSE) oleh badan publik, swasta, hingga organisasi internasional di wilayah Indonesia. Ada sejumlah sanksi jika ada pelanggaran, mulai dari administratif hingga pidana, seperti sanksi enam tahun penjara dan denda Rp6 miliar.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai saat ini merupakan periode transisi implementasi UU PDP. “Periode transisi implementasi UU PDP memang menjadi masa kritis dalam hal kepatuhan pengendali data untuk memastikan penerapan standar pelindungan data pribadi, termasuk risiko pembiaran jika terjadi insiden kebocoran data pribadi,” tulis ELSAM (CNNIndonesia.com, 17/11/2022).
ELSAM menilai badan-badan publik yang bertindak sebagai pengendali data belum siap untuk memastikan pemenuhan seluruh kewajiban sebagai pengendali data, sebagaimana diatur dalam UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. ELSAM mengakui periode transisi saat UU PDP menjadi rentan karena keharusan penyesuaian berbagai regulasi terkait perlindungan data pribadi dengan UU PDP. Akan tetapi, kerentanan itu semestinya bisa diantisipasi dengan memanfaatkan existing institution (lembaga yang ada saat ini) yang bertanggungjawab dalam pelindungan data pribadi, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Kominfo, kata ELSAM, bisa memanfaatkan peraturan-peraturan yang ada sebelum UU PDP berlaku yakni PP No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transisi Elektronik (PP PSTE) dan Permenkominfo No. 20/2016 tentang Pelindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik (Permen PDPSE) sehingga kekosongan hukum dan institusi bisa dihindari dan data pribadi warga tetap terlindungi.
Bukan tanpa alasan jika pemerintah dalam hal ini Kominfo bergerak lambat. Inilah watak asli kapitalisme yang membatasi peran pemerintah hanya sebatas regulator kebijakan. Dengan alasan keterbatasan tenaga ahli dan biaya, data pribadi warga menjadi bulan-bulanan alias permainan. Terlebih menjelang tahun politik 2024 nanti. Data adalah komoditas atau aset yang sangat berharga, ia bisa diperjual belikan untuk berbagai kepentingan, terutama mendapatkan gambaran wilayah-wilayah strategis kantong suara. Itulah mengapa pendapat ahli bahkan kritik masyarakat tak pernah mendapatkan titik temu.
Islam Lindungi Data Pribadi Masyarakat
Dalam pandangan Islam, data pribadi warga adalah aset yang berharga, dengan data pribadi yang terkumpul negara bisa menentukan kebijakan yang tepat dalam rangka mencapai kemaslahatan umat. Maka, sejak dari pengambilan data, pengelolaan, pengarsipan, evaluasi hingga penyimpanan akan diserahkan kepada ahlinya. Yaitu orang-orang yang dipandang negara memiliki kecakapan, pengalaman, ketelitian dan tentu ketakwaan.
Islam pernah menjadi mercusuar dunia, dengan kemajuan peradabannya. Tentulah banyak arsip yang masih tersimpan di kota-kota besar yang menjadi wilayah kekhilafahan yang masih bisa dilihat hari ini sebagai bukti betapa rapih dan detilnya setiap data disimpan.
Islam tidak anti teknologi, sehingga dalam rangka menjaga data pribadi akan dikerahkan seluruh kemampuan negara untuk mempelajari teknologi termutakhir, hal ini ada dalam kewenangan departemen jihad dan departemen dalam negeri. Pembiayaannya diambil dari Baitulmal yaitu pos pendapatan milkiyah ammah (kepemilikan umum) dan milkiyah Daulah (kepemilikan negara).
Negara tidak menolak adanya kontribusi rakyatnya yang mampu menemukan teknologi praktis di bidang apapun, termasuk digitalisasi. Jika dianggap bisa diproduksi massal untuk kemaslahatan umat maka negara akan turut campur dan membantu secara optimal. Demikian pula dengan pendidikan , bukan sekadar dilinkkan kepada pasar kerja, tapi benar-benar dibina agar menjadi sosok ilmuwan yang sekaligus bertakwa.
Tentu masih banyak lagi yang akan dilakukan negara dalam rangka menjaga marwah rakyatnya, namun tentu semua itu tidak akan bisa diterapkan jika kapitalisme masih dibiarkan sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia. Semua harus diganti dengan syariat Allah swt. Wallahu a’lam bish showab.**