Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menyerukan langkah-langkah kolektif untuk menghindari pembakaran Al Quran di masa depan. Hal ini disampaikan beberapa hari usai aksi pembakaran Al Quran di luar masjid di Stockholm, Swedia yang dilakukan oleh seorang pria bernama Salwan Momika (37) , pengungsi berkebangsaan Irak (detiknews com, 3/7/2023).
OKI yang beranggotakan 57 negara Muslim itu menggelar pertemuan di markas besarnya di Jeddah, Arab Saudi untuk menanggapi insiden tersebut dan mendesak negara-negara anggota untuk mengambil tindakan terpadu dan kolektif untuk mencegah terulangnya insiden penodaan Al Quran. Sekretaris Jenderal OKI, Hissein Brahim Taha mengatakan, “menekankan perlunya mengirim pesan yang jelas bahwa tindakan penodaan Al Quran adalah bukan sekadar insiden Islamofobia biasa.”
Hissein menambahkan harus mengirimkan pengingat terus-menerus kepada komunitas internasional mengenai penerapan hukum internasional yang mendesak, yang dengan jelas melarang advokasi kebencian agama. Beberapa negara seperti Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Maroko bahkan telah memanggil duta besar Swedia sebagai protes atas insiden pembakaran kitab suci umat Islam tersebut. Dan Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amir-Abdollahian mengatakan pemerintah Iran menunda pengiriman duta besarnya yang baru untuk Swedia, Hojjatollah Faghani, atas pembakaran Al Quran di luar masjid di Stockholm.
Para pemimpin negara Muslim ramai mengadakan kecaman, tindakan yang sudah sangat lazim dilakukan setiap kali ada penistaan agama Islam atas nama Hak Asasi Manusia. Bahkan tahun ini pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, ikut mengecam pembakaran Al Quran, kitab suci agama Islam. Fransiskus mengakui aksi provokatif semacam itu membuat dirinya marah dan muak dan menegaskan bahwa dirinya menolak untuk mengizinkan tindakan semacam itu sebagai bentuk kebebasan berbicara. Dia juga menegaskan bahwa kebebasan berbicara tidak seharusnya menjadi sarana untuk merendahkan orang lain.
“Buku apa pun yang dianggap suci harus dihormati untuk menghormati orang-orang yang mempercayainya,” tegas Paus Fransiskus dalam wawancara dengan surat kabar Uni Emirat Arab, Al Ittihad, yang diterbitkan pada Senin (3/7) waktu setempat. “Saya merasa marah dan muak dengan tindakan ini,” ucapnya. “Kebebasan berbicara tidak boleh digunakan sebagai sarana untuk merendahkan orang lain dan membiarkan apa yang ditolak dan dikecam,” cetus Paus Fransiskus.
Tong Kosong Nyaring Bunyinya
Apakah ada perubahan? Bahkan hingg pemimpin tertinggi umat khaltolik dunia ikut berbicara, tak akan sejengkal pun menggeser kebencian barat terhadap Islam. Sehingga Islamophobia pun akan tetap lestari. Bak tong kosong nyaring bunyinya, seramai apapun kecamannya tak akan membawa hasil sebab tak menyentuh persoalan mendasarnya.
Fakta pembakaran Al-Qur’an yang berulang di Swedia ini dilakukan atas izin Pengadilan Swedia. Menunjukkan betapa tinggi penghargaan mereka terhadap hak asasi manusia. Meskipun hak itu menciderai umat agama lain. Standar ganda akhirnya yang terjadi. Sekulerismelah akar persoalannya, mereka tak benar-benar mengakui Tuhan itu ada, bukankah setiap tindakan mencela dan bermakna negatif dibenci dan dilarang oleh agama manapun? Tuhan mereka pun tentu marah, namun sekali lagi, nafsu mereka adalah Tuhan yang sebenarnya.
Pemahaman inilah yang kemudian terus diemban ke seluruh dunia, mengangungkan diri sendiri dan menyangkal Penciptanya ada. Akibatnya dunia mengalami kerusakan akut, baik alamnya maupun manusianya. Tak terkecuali kaum Muslim yang sejak kehilangan institusi negara pelindungnya menjadi sasaran empuk para pengusung sekulerisme itu.
Lembaga perdamaian dunia, PBB samasekali tak bersuara. Padahal ini sudah bisa dikatagorikan pemecah belah perdamaian. Mengapa harus Islam yang jadi sasaran jika memang menistakan itu diperbolehkan? Karena sejatinya ini adalah perang ideologi. Negara barat pengusung ideologi kapitalisme yang asasnya sekuler sangat tahu hanya Islam yang bisa menandingi mereka menjadi “penguasa” dunia. Maka, segala daya upaya dikerahkan agar kejayaan Islam yang pernah terjadi di masa lalu tidak kembali, atau setidaknya bisa diundur.
Berbagai program dirancang, pendanaan digelontorkan tanpa batas. Dan dari rahim PBB inilah lahir kebijakan penghalang bahkan penghancur Islam secara sistematis. Sebut saja Komisi Status Perempuan atau Commission on the Status of Women (CSW) untuk kesetaraan gender, World Programme of Action for Youth (WPAY) tentang kepemudaan, ILO terkait ketenagakerjaan, hingga LGBT pun dibuat lembaga, komunitas, kampanye hingga pendanaanya. Semua bermuara pada upaya menghalangi tumbuhnya benih kebangkitan Islam sejak dini. Islamophobia ini pun jelas tak luput dari program barat tersebut.
Lemahnya kaum Muslim, gambaran kejayaan Islam di masa lalu mengabur seiring dengan semakin masuknya ide sekulerisme dalam diri, keluarga dan masyarakat Muslim. Hingga tataran negara, kebijakannya tak sepenuhnya berlandaskan Islam. Dari pendidikannya, ekonominya, kesehatannya dan lain-lain bernuansa sekuleri-kapitalis-liberalis.
Islam Mengatasi Penistaan Agama
Sebuah negara menjadi ula atau adidaya, disegani oleh bangsa dan negara lain adalah jika bisa menunjukkan kekuatannya, kemandiriannya, kedaulatannya berikut ketahanan militernya. Dan tak bisa disangkal itu berasal dari kekuatan Mabda atau ideologi. Hari ini kapitalisme yang berjaya, Amerika sebagai manifestasi kekuasaan dalam bentuk negaranya. Sedangkan Islam telah mundur seratus tahun lebih yang lalu.
Namun bukan tak mungkin akan tegak kembali, sebagaimana janji Allah SWT. Juga telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw, dari Abu Hurairah Ra,”Dahulu Bani Isra’il dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh Nabi lain. Namun sungguh tidak ada Nabi lagi sesudahku dan sepeninggalku akan ada para Khalifah lalu jumlah mereka akan banyak”. Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.”[HR. Imam Muslim].
Maka ketika hal itu terjadi, hukum atas penista agama akan ditegakkan. Kepemimpinan Islam tidak terbagi menjadi banyak negara dan banyak pemimpin yang justru lumpuh di hadapan kaum Kafir. Kekhalifahan Sultan Hamid II, menunjukkan pada dunia apa yang dimaksud penistaan agama adalah hal yang tak boleh terjadi dan masuk dalam kriminal besar, yaitu ketika di Perancis, Hendri de Bornier akan membuat pentas drama komedi yang kontennya menghina Nabi Muhammad SAW, maka Sultan Hamid II segera mengirim surat ke Perancis.
Ia mengecam dan melarang pementasan itu serta mengancam akan ada akibat politik yang dihadapi Perancis jika pentas tersebut dilangsungkan. Maka Perancis pun langsung membatalkan pentas tersebut. Hal yang demikian menunjukkan kewibawaan Islam di mata dunia tak main-main, dan hal itulah yang harus kita perjuangkan agar penistaan agama Islam berakhir. Wallahu a’lam bish showab.**