Oleh : Dina Aprilya, S.Farm
Aktivis Muslimah Medan
Korupsi di Indonesia ibarat penyakit kanker yang menggerogoti tubuh manusia. Jelajah kasus korupsi di negeri ini kian membubung tinggi. Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo, menjadi sorotan publik. Rafael Alun Trisambodo tercatat memiliki harta kekayaan puluhan miliar sejak beberapa tahun lalu, berikut aset tanah dan bangunan. Harta Rafael tercatat lebih tinggi dari Dirjen Pajak maupun Menteri Keuangan. Di tengah karut marut ekonomi nasional, wajar jika masyarakat mencermati kekayaan para pejabat negara dan gaya hidup mereka (tempo.co, 25/03).
Berdasarkan data dari bisnis.com (08/03), harta kekayaan Rafael mencapai Rp56,1 miliar pada 2021. Angka itu melebihi laporan harta kekayaan atasannya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo yaitu Rp14,4 miliar (2021) dan mendekati laporan harta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yaitu Rp58,04 miliar (2021). Sri Mulyani menyatakan bahwa total harta kekayaan Rafael itu tidak masuk akal sehingga dia meminta Inspektur Jenderal (Itjen) Kemenkeu untuk melaporkan pengawasan, investigasi, dan eksaminasi terhadap Rafael.
Selain Rafael, ada pula Eko Darmanto.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menginstruksikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mencopot Eko Darmanto dari posisi Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta. Dia pun meminta Inspektorat Jenderal Kemenkeu untuk melakukan investigasi lebih lanjut atas perilaku Eko, serta kecocokan harta, SPT pajak, dan utang dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Problem korupsi memang masih menjadi PR besar di Indonesia, baik korupsi dalam kelembagaan, maupun korupsi politik yang terkait dengan kekuasaan. Bukan saja melibatkan satu dua lembaga, tetapi sudah mewabah di semua lembaga. Terbukti, sudah banyak pejabat, mulai dari wakil rakyat, kementerian dan lembaga, pemimpin dan pejabat daerah, pejabat BUMN, bahkan aparat hukum dan pejabat perguruan tinggi yang terjerat kasus korupsi. Yang masih aman dan malang melintang jumlahnya tidak terhitung.
Dalam catatan Kejaksaan Agung RI, kerugian negara akibat perkara korupsi yang berhasil ditangani mencapai Rp144,2 triliun dan USD 61.948.551. Fakta ini memang sejalan dengan hasil penilaian Transparency International mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Pada 2022, poinnya hanya 34, melorot 4 poin dari tahun sebelumnya. Padahal rata-rata IPK global sendiri ada di angka 43. IPK sendiri didefinisikan sebagai data indikator komposit yang digunakan untuk mengukur persepsi korupsi di sektor publik di berbagai negara di dunia. Skala penilaiannya adalah angka 0—100. Makin rendah skornya, tingkat korupsi berarti makin naik. Sebaliknya, makin besar nilai skornya, berarti korupsi makin minim. Skor 100 menunjukkan negara tersebut bebas dari korupsi (merdeka.com, 08/01).
Dengan demikian, Indonesia sah termasuk negara yang korup. Dalam skala global, Indonesia ada di peringkat ke 110 dari 180 negara yang dinilai. Sedangkan di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia masuk sebagai negara terkorup ke-5 setelah Myanmar, Laos, Kamboja, dan Filipina (merdeka.com, 08/01).
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, korupsi lahir dari banyak politisi yang dipilih lewat proses secara demokratis. Menurut dia, hal ini menjadi contoh bahwa demokrasi tidak selalu mendukung lahirnya tata kelola yang baik. Pada akhirnya, orang-orang yang terpilih dalam proses demokrasi tidak sepenuhnya berintegritas tinggi dalam menjalankan amanah secara jujur dan adil. Sebagian besar justru terlibat dan terjebak dalam politik transaksional yang melahirkan oligarki kekuasaan. Jadi, tidak aneh jika dalam perjalanan politik demokrasi, selalu saja ada dinasti politik, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sulitnya mengeliminasi kasus korupsi dipengaruhi banyak faktor. Selain soal personalitas atau integritas para pejabat, faktor budaya hedonism yang diwariskan turun temurun bahkan sejak zaman penjajah, serta lemahnya birokrasi dan sistem hukum, juga turut berperan dalam melembagakan perilaku koruptif. Terlebih, teknologi terus berkembang sehingga modus korupsi pun makin beragam. Tindak pencucian uang yang lumrah mengikuti tindak korupsi tidak lagi hanya menyangkut pembelian harta bergerak dan tidak bergerak, tetapi sudah masuk dalam kegiatan transaksi elektronik yang menyulitkan untuk dilacak.
Berbagai perangkat hukum, baik lembaga maupun undang-undang, seakan mandul untuk memberantas korupsi hingga ke akar. Padahal tidak kurang-kurang, Indonesia sudah memproduksi begitu banyak UU dan peraturan, sekaligus memiliki lembaga antirasuah-yakni KPK-sebagai senjata untuk memerangi kejahatan korupsi. Bahkan budaya korupsi sudah mewabah dari level atas hingga bawah. Suap menyuap, mark up, fee proyek, perjalanan dinas, mafia kasus, dan sejenisnya, menjadi kian lumrah. Sampai-sampai, untuk mendapatkan sebagian layanan publik pun tidak lepas dari uang pelicin agar bisa kelar secepatnya.
Indonesia Corruption Watch menilai pemberantasan korupsi merosot di pemerintahan Jokowi disebabkan beberapa hal berikut: (1) perubahan UU KPK yang melemahkan peran KPK; (2) sikap pemerintah melalui menteri-menterinya yang cenderung permisif terhadap kejahatan korupsi; (3) paket regulasi hasil produk politik pemerintah dan DPR tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi; (4) gagalnya menciptakan kepastian hukum yang mengedepankan nilai integritas. Wajar jika mimpi memberangus korupsi seakan kian jauh dari harapan. Konsep trias politika yang diyakini mampu mencegah perilaku tiran dan korup pada kekuasaan politik demokrasi nyatanya cuma jadi teori tanpa arti. Aparat hukum yang diharapkan bisa mencegah pelanggaran, malah tidak luput jadi bagian kerusakan.
Terkait korupsi, Islam punya beberapa lapis pagar. Pertama, dimulai dari asas kekuasaan dan kepemimpinan. Islam menetapkan keduanya harus tegak di atas landasan keimanan kepada Allah Swt. Konsekuensinya, kekuasaan dan kepemimpinan hanya berfungsi untuk menegakkan aturan-aturan Islam, bukan untuk mengejar materi atau kepentingan. Pagar kedua, penerapan aturan Islam sebagai konsekuensi iman, baik oleh pemimpin maupun rakyatnya, termasuk oleh semua aparat penegak hukum. Jaminan zero korupsi ini berangkat dari aturan Islam yang begitu komplit dan sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, keuangan, sosial, hukum dan sanksi, hankam, dan sebagainya.
Inilah gambaran singkat cara Islam mengeliminasi tindak korupsi. Penerapan Islam yang bertumpu pada ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penegakan syariat secara konsisten oleh negara, insyaallah akan menjadi jaminan terwujudnya kebaikan di seluruh sisi kehidupan sebagaimana kita harapkan. Dalam menjalankan amanah jabatan, para pejabat menyelami perannya sebagai pelayan dan pengurus rakyat yang akan Allah minta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Alih-alih bergaya hidup mewah, sosok pejabat seperti ini akan membuang jauh kemewahan dunia dalam menjalankan amanah. Wallahu a’lam bish showab.**